Senin, 31 Agustus 2020

Karena Syaitan itu Musuh

 

Karena Syaitan itu Musuh …[1][2]

 

(Hal-78)Syaitan. Apa yang terbayang dalam pikiran kita, atau kebanyakan orang, saat mendengar kata tersebut? Karena pesatnya informasi tidak benar dalam benak banyak orang, mungkin juga kita, maka kata-kata “syaitan” lebih dipahami sebagai sesuatu yang menakutkan secara fisik. Karena fisiknya yang buruk, sehingga harus dijauhi dan ditakuti. Padahal benarkah informasi itu yang digambarkan dalam Islam? Jawabannya, tidak.



Saudaraku,

Al Qur’an memilihkan kata yang sangat tepat memposisikan syaitan. Yaitu sebagai ‘aduww, atau musuh. Karena syaitan itu musuh, maka dia harus dilawan dan dilumpuhkan. Bukan ditakuti. Karena syaitan musuh, maka tidak boleh diberi kesempatan untuk menyerang. Karena syaitan musuh, maka kita harus waspada dan hati-hati terhadap segala tipu daya dan jebakannya yang bisa menjerumuskan. Begitulah. Karena syaitan itu musuh.

Tak satupun manusia yang luput dari godaan syaitan. Syaitan sebagai musuh, selalu mempunyai cara untuk bisa mempengaruhi dan menaklukkan hati hingga perilaku manusia. Betapapun keshalihan orang itu. Syetan sebagai musuh, akan terus mencari (Hal-79) jalan untuk merusak dengan cara yang paling sesuai dengan orang yang digodanya.

Saudaraku,

Setidaknya ada tiga kelompok manusia yang masing-masing diperlakukan dengan cara dan godaan yang berbeda oleh syaitan. Kelompok pertama, manusia yang cenderung kepada dosa dan maksiat. Cara yang dilakukan syaitan untuk kelompok ini adalah dengan selalu menggiring hati manusia agar terlunta, tersesat, semakin menjauh dari petunjuk Allah swt. Syaitan sebagai musuh, akan menarik dan mendekatkan jiwa orang tersebut untuk lebih melekat dan tertarik terhadap apa yang diharamkan dan dilarang Allah swt. Syaitan berupaya menutup hati dan jiwanya dari sikap hati-hati dan kesadaran. Jadi, orang-orang kelompok ini akan leluasa dan tenang melakukan banyak dosa dan kesalahan.

Kelompok kedua, adalah kelompok yang mempunyai jiwa yang lebih terikatdan tunduk kepada perintah Allah swt. Untuk menggoda kelompok ini, syaitan akan mencari jalan yang paling sesuai dengan kondisinya. Syaitan tak menggunakan cara agar orang tersebut menjauh dari hidayah Allah dan tersesat.  Tetapi meletakkan jebakan-jebakan, yang bisa membuat orang kelompok ini, terpeleset lalu jatuh, karena tidak begitu tampak bahayanya.

Kelompok ketiga, orang-orang yang aktif menyadarkan orang lain untuk dekat pada hidayah Allah, yang memerintahkan yang ma’ruf dan munkar, syaitan mempunyai senjata dan cara lain lagi. Berbeda dengan cara yang digunakan kepada dua kelompok tadi. Cara yang digunakan syaitan untuk menggoda orang ini adalah dengan mengarahkan pandangan orang tersebut pada kedudukan,kewibawaan, dan posisi pentingnya dibandingkan orang lain. Syaitan berusaha agar orang ini merasa besar, lebih mulia, lebih dekat kepada Allah swt. Dari situ, muncul sebuah sikap yang absurd melalui ketaatan dan menampilkan ketaatan, tapi diiringi hati yang merasa lebih baik disbanding orang lain.

Saudaraku,

Perintah-perintah Allah swt agar kita melakukan ketaatan, berdzikir, menjauhkan diri dari yang haram, bertujuan untuk membersihkan hati dari kekotoran dan noda, yang menghalangi seorang hamba dari Rabbnya. Itu sebabnya, para (Hal-80)ulama dan para shalihin seperti Imam Al Muhasibi, Imam Al Junaid Al Baghdadi, dan Al Imam Al Qushairi, ketika mereka menasihati tentang keharusan memperbanyak tilawah Al Qur’an, membaca dzikir pagi-sore, memperbanyak shalat sunnah setelah melakukan yang wajib, selalu mengiringi nasihatnya untuk tidak terjerumus pada fitnah merasa puas, merasa lebih karena amal-amal yang dilakukan. Mereka menegaskan bahwa sikap istiqomah dan konsisten melakukan perintah Allah swt itulah yang terpenting.

Mereka mengatakan, saat kita berusaha mengikat diri dengan perintah-perintah Allah, berupa ketaatan, membaca wirid do’a, ibadah wajib dan sunnah, ingatlah bahwa semua itu adalah obat bagi hati. Karena kita menyadari bahwa itu semua adalah obat, maka yang kita pinta adalah agar Allah swt memberi kesembuhan kita dari beragam penyakit hati, yang tersembunyi dan bertumpuk banyak alam hati kita. Inilah yang disinggung oleh Ibnu Athaillah rahimahullah: “Jika engkau masih mengagumi diri sendiri sebagai orang yang memiliki kelebihan dari orang lain, tidak menyukai kenikmatan yang jatuh pada orang lain, memendam rasa tidak enak dengan orang yang lebih terkenal dan lebih tinggi kedudukannya, ketahuilah bahwa sebenarnya ibadah yang engkau lakukan belum mendekatkan dirimu pada Allah.”

Sebab sejatinya manusia setiap ia lebih dekat kepada Allah, maka semakin tambah ma’rifah dan pengetahuannya kepada Allah dan semakin bertambah kesadaraannya akan keagungan hak Allah swt. Semakin sadar pula kekurangan yang dilakukannya di hadapan Allah swt. Semakin waspada dalam melihat keburukan dirinya. Kebalikannya, orang yang merasa tidak menyadari dan tidak mengenal Allah, semakin merasa aman dari kemurkaan Allah, dan semakin tenang karena merasa dirinya tidak ada masalah apa-apa.

Renungkanlah salah satu do’a salafushalih adalah,”Ya Allah jangan jadikan penghormatan orang lain kepadaku, dan kebaikan dugaan mereka kepada diriku, menjadikan aku mabuk dan lupa dengan keburukanku dan besarnya kekuranganku dalam menunaikan hak-hak-Mu. Ya Allah, jangan kau jadikan kenikmatan perlindungan-Mu terhadap aib dan kekuranganku, menyebabkan diriku sombong, atau menjadi sarana yang melupakanku terhadap keburukanku yang sudah pasti Engkau ketahui berdasarkan Ilmu-Mudan engkau sembunyikan dari hamba-Mu …”

Saudaraku,

Demikianlah, ketika para shalihin membicarakan godaan syaitan, mereka menyadari  betapa pembicaraan itupun bisa terselip di dalamnya gangguan syaitan itu sendiri terhadap diri mereka. Ketika mereka membicarakan tentang amal-amal kebaikan, maka mereka tidak lupa mengingatkan bila kebaikanpun bisa menjadi sarana terjerumusnya seseorang dalam jurang kesombongan, ghurur, rasa kecukupan, hingga cenderung melakukannya untuk ditampilkan pada manusia. Bukan untuk Allah swt.

Saudaraku,

Begitulah, karena syaitan itu musuh. ***

 

 



[1]M. Lili Nur Aulia

[2]Majalah Tarbawi Edisi 272 Th.13, Jumadil Awwal 1432H, 06 April 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar