Karena
Syaitan itu Musuh …[1][2]
(Hal-78)Syaitan. Apa yang terbayang dalam
pikiran kita, atau kebanyakan orang, saat mendengar kata tersebut? Karena
pesatnya informasi tidak benar dalam benak banyak orang, mungkin juga kita,
maka kata-kata “syaitan” lebih dipahami sebagai sesuatu yang menakutkan secara
fisik. Karena fisiknya yang buruk, sehingga harus dijauhi dan ditakuti. Padahal
benarkah informasi itu yang digambarkan dalam Islam? Jawabannya, tidak.
Saudaraku,
Al Qur’an memilihkan kata yang sangat tepat
memposisikan syaitan. Yaitu sebagai ‘aduww,
atau musuh. Karena syaitan itu musuh, maka dia harus dilawan dan
dilumpuhkan. Bukan ditakuti. Karena syaitan musuh, maka tidak boleh diberi
kesempatan untuk menyerang. Karena syaitan musuh, maka kita harus waspada dan
hati-hati terhadap segala tipu daya dan jebakannya yang bisa menjerumuskan.
Begitulah. Karena syaitan itu musuh.
Tak satupun manusia yang luput dari godaan
syaitan. Syaitan sebagai musuh, selalu mempunyai cara untuk bisa mempengaruhi
dan menaklukkan hati hingga perilaku manusia. Betapapun keshalihan orang itu.
Syetan sebagai musuh, akan terus mencari (Hal-79) jalan untuk
merusak dengan cara yang paling sesuai dengan orang yang digodanya.
Saudaraku,
Setidaknya ada tiga kelompok manusia yang
masing-masing diperlakukan dengan cara dan godaan yang berbeda oleh syaitan.
Kelompok pertama, manusia yang cenderung kepada dosa dan maksiat. Cara yang
dilakukan syaitan untuk kelompok ini adalah dengan selalu menggiring hati
manusia agar terlunta, tersesat, semakin menjauh dari petunjuk Allah swt.
Syaitan sebagai musuh, akan menarik dan mendekatkan jiwa orang tersebut untuk
lebih melekat dan tertarik terhadap apa yang diharamkan dan dilarang Allah swt.
Syaitan berupaya menutup hati dan jiwanya dari sikap hati-hati dan kesadaran.
Jadi, orang-orang kelompok ini akan leluasa dan tenang melakukan banyak dosa
dan kesalahan.
Kelompok kedua, adalah kelompok yang
mempunyai jiwa yang lebih terikatdan tunduk kepada perintah Allah swt. Untuk
menggoda kelompok ini, syaitan akan mencari jalan yang paling sesuai dengan
kondisinya. Syaitan tak menggunakan cara agar orang tersebut menjauh dari
hidayah Allah dan tersesat. Tetapi
meletakkan jebakan-jebakan, yang bisa membuat orang kelompok ini, terpeleset
lalu jatuh, karena tidak begitu tampak bahayanya.
Kelompok ketiga, orang-orang yang aktif menyadarkan
orang lain untuk dekat pada hidayah Allah, yang memerintahkan yang ma’ruf dan
munkar, syaitan mempunyai senjata dan cara lain lagi. Berbeda dengan cara yang
digunakan kepada dua kelompok tadi. Cara yang digunakan syaitan untuk menggoda
orang ini adalah dengan mengarahkan pandangan orang tersebut pada
kedudukan,kewibawaan, dan posisi pentingnya dibandingkan orang lain. Syaitan
berusaha agar orang ini merasa besar, lebih mulia, lebih dekat kepada Allah
swt. Dari situ, muncul sebuah sikap yang absurd
melalui ketaatan dan menampilkan ketaatan, tapi diiringi hati yang merasa
lebih baik disbanding orang lain.
Saudaraku,
Perintah-perintah Allah swt agar kita
melakukan ketaatan, berdzikir, menjauhkan diri dari yang haram, bertujuan untuk
membersihkan hati dari kekotoran dan noda, yang menghalangi seorang hamba dari
Rabbnya. Itu sebabnya, para (Hal-80)ulama dan para shalihin seperti Imam Al Muhasibi, Imam Al Junaid
Al Baghdadi, dan Al Imam Al Qushairi, ketika mereka menasihati tentang
keharusan memperbanyak tilawah Al Qur’an, membaca dzikir pagi-sore,
memperbanyak shalat sunnah setelah melakukan yang wajib, selalu mengiringi
nasihatnya untuk tidak terjerumus pada fitnah merasa puas, merasa lebih karena
amal-amal yang dilakukan. Mereka menegaskan bahwa sikap istiqomah dan konsisten
melakukan perintah Allah swt itulah yang terpenting.
Mereka mengatakan, saat kita berusaha
mengikat diri dengan perintah-perintah Allah, berupa ketaatan, membaca wirid
do’a, ibadah wajib dan sunnah, ingatlah bahwa semua itu adalah obat bagi hati.
Karena kita menyadari bahwa itu semua adalah obat, maka yang kita pinta adalah
agar Allah swt memberi kesembuhan kita dari beragam penyakit hati, yang
tersembunyi dan bertumpuk banyak alam hati kita. Inilah yang disinggung oleh
Ibnu Athaillah rahimahullah: “Jika
engkau masih mengagumi diri sendiri sebagai orang yang memiliki kelebihan dari
orang lain, tidak menyukai kenikmatan yang jatuh pada orang lain, memendam rasa
tidak enak dengan orang yang lebih terkenal dan lebih tinggi kedudukannya,
ketahuilah bahwa sebenarnya ibadah yang engkau lakukan belum mendekatkan dirimu
pada Allah.”
Sebab sejatinya manusia setiap ia lebih dekat
kepada Allah, maka semakin tambah ma’rifah dan pengetahuannya kepada Allah dan
semakin bertambah kesadaraannya akan keagungan hak Allah swt. Semakin sadar
pula kekurangan yang dilakukannya di hadapan Allah swt. Semakin waspada dalam
melihat keburukan dirinya. Kebalikannya, orang yang merasa tidak menyadari dan
tidak mengenal Allah, semakin merasa aman dari kemurkaan Allah, dan semakin
tenang karena merasa dirinya tidak ada masalah apa-apa.
Renungkanlah salah satu do’a salafushalih
adalah,”Ya Allah jangan jadikan penghormatan orang lain kepadaku, dan kebaikan
dugaan mereka kepada diriku, menjadikan aku mabuk dan lupa dengan keburukanku
dan besarnya kekuranganku dalam menunaikan hak-hak-Mu. Ya Allah, jangan kau jadikan
kenikmatan perlindungan-Mu terhadap aib dan kekuranganku, menyebabkan diriku
sombong, atau menjadi sarana yang melupakanku terhadap keburukanku yang sudah
pasti Engkau ketahui berdasarkan Ilmu-Mudan engkau sembunyikan dari hamba-Mu …”
Saudaraku,
Demikianlah, ketika para shalihin
membicarakan godaan syaitan, mereka menyadari
betapa pembicaraan itupun bisa terselip di dalamnya gangguan syaitan itu
sendiri terhadap diri mereka. Ketika mereka membicarakan tentang amal-amal
kebaikan, maka mereka tidak lupa mengingatkan bila kebaikanpun bisa menjadi
sarana terjerumusnya seseorang dalam jurang kesombongan, ghurur, rasa
kecukupan, hingga cenderung melakukannya untuk ditampilkan pada manusia. Bukan
untuk Allah swt.
Saudaraku,
Begitulah, karena syaitan itu musuh. ***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar